Sunday, March 15, 2020

Jual Beli dan Kontrak Bisnis Prespektif Perundangan dan Syariah Islam


JUAL BELI DAN KONTRAK BISNIS PRESPEKTIF PERUNDANGAN DAN SYARIAH

MAKALAH

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Bisnis
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Muhammad Djakfar, SH., M.Ag 











Disusun oleh:
Ilham Muzaki
NIM: 17510024






UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN MANAJEMEN
2019/2020



KATA PENGANTAR


Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat, ridho dan karunia-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Jual Beli dan Kontrak Bisnis Prespektif Perundangan dan Syariah.”
Selama penyusunan makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada: Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Djakfar, SH., M.Ag  Sebagai Dosen mata kuliah Hukum Bisnis, Keluarga tercinta, serta Teman-teman dan berbagai pihak yang telah memberi masukan dan saran kepada penulis.
Dalam penyusunan makalah ini penulis telah berusaha sebaik-baiknya, namun penulis menyadari atas segala kekurangan itu, kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penyusunan makalah ini.
Akhir kata penulis ucapkan terima kasih atas segala bantuan dari semua pihak yang terlibat dalam penulisan Makalah ini. Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Aamiin.


Malang, 11 September 2019


Penulis,
 





DAFTAR ISI

BAB 1. 1
PENDAHULUAN.. 1
A.    Latar Belakang Masalah. 1
B.    Rumusan Masalah. 2
C.    Tujuan Masalah. 2
BAB II. 3
PEMBAHASAN.. 3
A.    Jual Beli 4
1.    Pengertian Jual Beli 5
2.    Dasar Hukum Jual Beli 6
3.    Kewajiban Penjual dan Pembeli 8
4.    Risiko dalam Jual Beli 9
B.    Jual beli Prespektif Syariah. 10
1.    Pengertian. 10
2.    Dasar Hukum Jual Beli Syariah. 12
3.    Rukun dan Syarat Jual Beli Syariah. 13
4.    Peran Adat-Istiadat Dalam Perniagaan Syariah. 15
C.    Kontrak Bisnis. 17
1.    Pengertian Kontrak. 17
2.    Objek Kontrak. 18
3.    Subjek Hukum Kontrak. 19
4.    Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Kontrak. 19
5.    Macam-macam Kontrak Bisnis. 20
D.    Kontrak Bisnis Prespektif Syariah. 22
1.    Pengertian. 22
2.    Landasan Hukum Kontrak Bisnis Prespektif Syariah. 23
3.    Tujuan Kontrak Bisnis Syariah. 24
4.    Rukun dan Syarat Sah Akad (Kontrak) 24
BAB III. 28
PENUTUP. 28
A.    Kesimpulan. 28
B.    Saran. 29
DAFTAR PUSTAKA.. 30




BAB 1

PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang Masalah
            Dalam kehidupan sehari-hari dalam bermuamalah baik yang konvensional maupun yang sesuai syariah, terdapat dua bentuk kegiatan yang pasti akan terjadi, yaitu menjual (sale) dan membeli (buy), yang biasanya disebut istilah jual beli. Kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang banyak ditemukan dalam praktek perniagaan atau perdagangan (trading). Kedua kegiatan tersebut muncul karena adanya kebutuhan-kebutuhan manusia dalam kehidupan sehari-hari dan akan berganti-ganti secara terus-menerus. Kegiatan inilah yang menjadi penghidupan atau berlangsungnya di dunia.  
            Dalam dunia bisnis kontrak merupakan bidang yang sangat banyak digunakan oleh masyarakat dunia. Bahkan hampir semua kegiatan bisnis apapun itu diawali dengan kontrak, meskipun kontrak sendiri itu sangat sederhana tampilanya. Karena itu, memang tepat jika masalah kontrak ini dimasukan kedalam sebuah hukum bisnis.
            Di era globalisasi saat ini telah melanda dunia, termasuk Indonesia. Salah satu dampak dari perubahan era globalisasi yang kita rasakan saat ini yaitu berupa bidang hukum ekonomi. Bagian bidang hukum ekonomi yang paling pesat perkembanganya adalah hukum kontrak/perjanjian khususnya pada kontrak dagang. Pada dasarnya suatu kontrak itu merupakan dokumen yang tertulis yang memuat tentang keinginan-keinginan dari pihak tertentu untuk mencapai sebuah tujuan tertentu dan bagaimana cara agar pihaknya diuntungkan, dibatasi/dilindungi tanggung jawabnya.
             
B.    Rumusan Masalah
1.     Apa definisi jual beli dalam prespektif perundangan dan syariah?
2.     Bagaimana hukum dan cara jual beli dalam prespektif perundangan dan syariah?
3.     Apa definisi kontrak bisnis dalam prespektif perundangan dan syariah?
4.     Bagaimana hukum dan cara kontrak bisnis dalam prespektif perundangan dan syariah?

      C.   Tujuan Masalah
1.     Untuk mengetahui definisi jual beli dalam prespektif perundangan dan syariah
2.     Untuk mengetahui hukum dan cara jual beli dalam prespektif perundangan dan syariah?
3.     Untuk mengetahui definisi kontrak bisnis dalam prespektif perundangan dan syariah?
4.     Untuk mengetahui hukum dan cara kontrak bisnis dalam prespektif perundangan dan syariah? 


 BAB II

PEMBAHASAN


            Dalam dunia bisnis sering kali kita dengar istilah kontrak bisnis dan jual beli. Akan tetapi dalam menjalankan suatu usaha, tidak jarang orang melupakan betapa pentingnya sebuah kontrak dibuat sebelum sebuah bisnis atau usaha dilakukan. Terutama bisnis yang mempunyai nominal transaksi yang sangat besar. Harus kita sadari bahwa budaya tiap negara-negara berbeda dalam menjalankan suatu bisnis. Ada yang lebih mempercayai bahasa lisan, dan ada pula yang lebih mempercayai bahasa tulis atau yang kita kenal sebagai kontrak tertulis dengan alasan lebih mempunyai kepastian hukum.[1] Oleh karena itu, dalam melakukan bisnis apapun, tradisi yang diberlakukan disetiap negara itu bagaimanapun harus dipatuhi oleh setiap pelaku bisnis. Apabila tidak, maka bukanlah tidak mungkin bisnis yang akan dilakukan tidak akan pernah terwujud.
            Pada lazimnya sebelum kontrak dibuat, oleh antar pihak sudah didahului dengan pembicaraan pendahuluan, selanjutnya dilanjutkan ke pembicaraan tingkat berikutnya (negoisasi) untuk mematangkan suatu kemungkinan yang akan terjadi. Karena selengkap apapun sebuah kontrak dibuat berkecenderungan akan selalu ada kekurangan-kekurangan yang akan menimbulkan sengketa atau perselisihan dikemudian hari. Justru karena itu sebelum kontrak dimulai atau ditandatangani oleh pihak yang berkontrak, hendaknya perlu dibicarakan secara matang terlebih dahulu dengan maksud untuk mengeleminir kemungkinan-kemungkinan negatif yang sewaktu-waktu bisa terjadi.
            Jika sekiranya terjadi sengketa atau perselisihan sesudah kontrak ditandatangani, maka alangkah baiknya jika secepat mungkin diselesaikan menurut ketentuan yang disepakati atau menurut hukum yang berlaku. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kerugian yang lebih besar yang timbul akibat berlarut-larutnya sengketa tersebut.
            Perlu disadari dalam perjanjian kontrak-kontrak besar seringkali pelaku usaha menggunakan jasa ahli hukum (lawyer) seperti notaris. Ini perlu dilakukan karena tidak semua pelaku bisnis menguasai masalah hukum. Sebab itu untuk menjamin adanya keamanan, ketenangan dan kepastian hukum dalam melakukan bisnis, seyogianya setiap pelaku usaha menggunakan jasa ahli hukum itu. Salah satu sisi positif penggunaan jasa lawyer, antara lain seorang pengusaha lebih fokus pada masalah pengembangan bisnis semata, sedangkan penyelesaian masalah hukum jika sekiranya seaktu-waktu terjadi maka hanya pihak lawyelah yang menyelesaikan sesuai mandate yang diberikan kepadanya. Dalam hal ini lawyer bisa bertindak atas nama klien (pelaku usaha selaku pemberi mandate), untuk melakukan penyelesaian masalah hukum apabila dikemudian terjadi masalah yang berkaitan dengan usaha (bisnis) yang dilakukan. Sekaligus sewaktu-waktu memberikan masukan-masukan yang sangat berharga untuk pengembangan bisnis kepada pelaku usaha agar terindar dari masalah hukum yang tidak jarang menghambat kemajuan sebuah perusahaan.[2]   

  A.    Jual Beli
            Ada banyak jenis transaksi atau perjanjian yang biasa lahir dalam kegiatan bisnis. Bahkan, tidak ada bisnis yang bisa berjalan tanpa transaksi. Transaksi adalah tindakan seseorang yang bisa melahirkan hak dan kewajiban. Hak disini bisa berupa hak keperdataan yang lahir setelah bertransaksi dengan pebisnis lain (hak pembayaran tagihan, hak menerima jasa, hak menerima barang, dan sebagaimana), atau hak yang lahir dari negara setelah seorang pebisnis telah memenuhi kewajibanya sebagai warga negara (hak perlindungan hukum, pengguna sarana dan pelayanan publik, dan lain-lain). Sedangkan kewajiban perdata berupa ‘membayar utang’, ‘menyerahkan barang’, ‘memberikan jasa’, atau kewajiban publik setiap pebisnis untuk membayar pajak dan retribusi.[3]  
            Transaksi jual beli merupakan jenis transaksi yang paling populer dan paling banyak dilakukan umat manusia. Di sini, penjual berhak mendapatkan pembayaran sekaligus wajib menyerahkan barang kepada si pembeli, sedangkan pembeli berhak mendapatkan barang sekaligus wajib membayar sejumlah uang kepada si penjual.
            Hanya saja, prosedur jual-beli tergantung pada jenis objek yang ditransaksikan. Misalnya, untuk jual beli tanah dan bangunan harus dilakukan di hadapan penjabat pembuat akte/notaris dan wajib didaftarkan di register umum/Badan Pertahanan Nasional (BPN).
  1.     Pengertian Jual Beli
            Jual beli secara etimologis artinya mengganti dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.[4] Sedangkan secara terminologis, ulama Hanafiyah mendefinisikan dengan “Saling menukar harta dengan harta melalui cara tertentu”, atau, “Tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.”
            Menurut pasal 1457 KUH Pdt, jual beli adalah suatu persetujuan di mana pihak yang satu berjanji mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Soebekti mendefinisikan jual beli sebagai perjanjian timbal balik dimana pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak lain (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan milik tersebut.[5]
            Dari beberapa definisi diatas dapat dipahami bahwa perkataan jual beli menunjukan adanya perbuatan (aktivitas) dari satu pihak yang dinamakan “menjual”, sedangkan dari pihak lain dinamakan “membeli”. Adapun barang atau apa yang akan menjadi objek perjanjian jual beli dengan sendirinya harus tertentu (jelas), setidak-tidaknya dapat ditentukan wujud dan jumlahnya pada saat akan diserahkan kepada si pembeli. Termasuk juga jelas secara hukum kepemilikan atas barang yang akan diperjual belikan. Karena kalau tidak jelas atau tidak sah secara hukum, dan jika hal ini dilanjutkan maka jelas berpotensi menimbulkan masalah hukum dikemudian hari. Penyebanya adalah karena jual beli yang dilakukan itu dianggap cacat hukum, di mana penjual menjual barang yang bukan miliknya atau masih dalam status sengketa yang masih dalam proses hukum.
            Perlu dipahami pula bahwa inti jual beli adalah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai (manfaat) yang dilakukan atas dasar secara sukarela di antar kedua belah pihak, yang satu menyerahkan barang, sedangkan yang lain menerima sesuai perjanjian. Semuanya ini harus sesuai pula dengan ketentuan hukum yang berlaku, baik hukum syara’ maupun hukum positif yang berlaku.
            Yang dimaksud sesuai dengan hukum adalah terpenuhinya persyaratan, rukun, dan hal-hal lainnya yang ada kaitanya dengan jual beli sehingga apabila syarat dan rukunnya tidak terpenuhi sama halnya dengan tidak memenuhi ketentuan syara’. Sebagai konsekuensinya, maka jual beli yang dilakukan tidak sah atau tidak mempunyai akibat hukum.[6] 
            In the analysis of the bargaining process between potential buyers and sellers of commodities, economic theory assumes that preferences are not affected by ownership. Thus, when income effects and transaction costs are minimal, the willingness to pay for a certain good should equal the willingness to accept.[7]
  2.     Dasar Hukum Jual Beli
            Jual beli pada dasarnya merupakan kegiatan yang saling bantu antara yang satu dengan yang lain dengan prinsip saling menguntungkan sesuai syariat dan peraturan perundangan yang berlaku. Dalam KUHPdt jual beli diatur dalam buku ketiga tentang perikatan. Dalam perikatan ini antara lain diatur segala hal yang berkaitan dengan jual beli, membentang mulai dari pasal 1457 sampai dengan 1540. Adapun bunyi pasal 1457 sebagaimana telah dikutip dibagian lain sebelum ini.[8]   
            Perlu diperhatikan pula Pasal 1235 BW yang mengatakan: Si penjual/si berutang barang wajib sebagaimana seorang bapak rumah yang baik untuk menjaga/merawat barang yang dijual sebelum barang itu diserahkan ke si pembeli. Lalu, Pasal 1235 BW menyatakan; Si penjual barang/si berutang barang wajib memberikan ganti rugi kepada si berpiutang barang bila si berutang telah membawa dirinya dalam keadaan tidak mampu myerahkan kebendaanya, atau tidak merawatnya sepatutnya guna guna menyelamatkanya.
            Jadi, penjual wajib memiliki iktiqad (niat) baik dalam menjual barangnya yang ditandai dengan sikap menjaga atau memelihara kondisi barang yang sudah dibeli pihak lain sebelum barang itu diserahkan ke pembeli. Berikut ini dua gambaran mengenai substansi transaksi perjanjian jual beli barang yang membutuhkan surat perjanjian karena nilai transaksinya dianggap besar:
            Pertama, jual-beli kapal. Dalam surat perjanjian dimuat mengenai identitas para pihak (penjual dan pembeli), ukuran kapal dan segala fasilitasnya, harga, uang muka (down payment), jangka waktu pelunasan, dan waktu menyerahkan kapal kepada pihak pembeli. Selain itu, kesepakatan bea balik nama, penyerahan dokumen-dokumen kapal, ongkos penyerahan kapal, segala hal yang berkaitan dengan pajak, dan biaya-biaya lainya, serta penanggungan atas risiko yang mungkin terjadi.
            Disepakati pula cara penyelesaian jika terjadi sengketa. Jika musyawarah tidak tercapai maka sengketa bisa disepakati ke pengadilan negeri setempat. Misalnya; kontrak jual-beli kapal perang jenis strategic sealift vessel (SSV) antara PT PAL Indonesia (Persero) dengan pemerintah Filipina. Proyek pengadaan kapal ini dimulai sejak tahun 2014 hingga tahun 2016. Nilai kontraknya skitar Rp 1,1 Triliun.
            Kedua, jual beli tanah dan bangunan. Perjanjian diawali dengan identitas para pihak, lalu harga tanah dan bangunan, dan sitem pembayaran. Kemudian, jaminan dari penjual bahwa tanah dan bangunan itu benar haknya, bebas dari sitaan, atau belum dijual kepada orang lain. Selain itu, kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan bangunan kepada pembeli (sewaktu pelunasan harga), biaya balik nama, pajak, iuran, dan biaya lainya terkait tanah dan bangunan sebelum diserahkan kepada pembeli. Juga, cara penyelesaian jika timbul sengketa.[9]
  3.     Kewajiban Penjual dan Pembeli
            Dari kesepakatan jual beli akan lahir kewajiban-kewajiban dimana si penjual dan si pembeli selaku pihak-pihak yang terlibat harus memenuhinya. Jika salah satu pihak tidak mau menunaikan kewajibanya, maka dianggap melakukan wanprestasi dan berpotensi membatalkan jual beli. Dengan sendirinya para pihak tidak saja hanya menuntut apa yang menjadi haknya, namun sebelumnya juga harus menunaikan kewajibanya sesuai laziman atau yang diperjanjikan. Hak dan kewajiban harus seimbang dan proporsional sehingga terciptalah keadilan yang diharapkan semua orang.
            Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain:
ü  Kewajiban bagi si Penjual
1.     Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual belikan kewajiban menyerahkan hak milik meliputi segala hal perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjual belikan itu dari penjual kepada pembeli.
2.     Menanggung kenikmatan atas barang tersebut dan menanggung terhadap cacat-cacat yang tersembunyi.
Kewajiban ini merupakan konsensus dari jaminan yang oleh penjual berikan kepada pembeli bahwa barang yang dijual dan deliver itu adalah sungguh-sungguh miliknya sendiri yang bebas dari sesuatu beban atau tuntutan dari sesuatu pihak.
ü  Kewajiban bagi si pembeli
Kewajiban utama si pembeli adalah membayar sejumlah harga pembelian pada waktu dan tempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian disepakati. Dalam hal ini harga yang harus dibayarkan adalah sejumlah uang. Sekalipun hal ini tidak tercantum dalam pasal undang-undang, tetapi sudah bermaktub dengan sendirinya di dalam pengetian jual beli.[10]
            Jika harga tersebut di bayar dengan sejumlah barang, maka perjanjian tersebut akan berubah menjadi perjanjian tukar menukar barang (barter). Jika harga yang dibayarkan menggunakan suatu jasa maka perjanjian tersebut bukanlah perjanjian jual beli melainkan perjanjian kerja.[11]   
            Kewajiban si penjual dan pembeli tersebut sejalan dengan pasal 63 Komplikasi Hukum Ekonomi Syari’ah yang menyatakan bahwa (1) penjual wajib menyerahkan objek jual beli sesuai dengan harga yang telah disepakati; (2) pembeli wajib menyerahkan uang atau benda yang setara nilainya dengan objek jual beli.[12]
  4.     Risiko dalam Jual Beli
            Berkaitan dengan salah resiko jual beli, dalam KUH Pdt ada tiga ketentuan, yaitu:
ü  Mengenai barang tertentu
Mengenai barang tertentu ditetapkan oleh pasal 1460 bahwa barang itu sejak saat pembelian (saat ditutupnya perjanjian) adalah atas tanggungan si pembeli, meskipun penyerahnya belum dilakukan dan si penjual berhak menuntut harganya.
ü  Mengenai barang yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran
Menurut KUH Pdt barang yang diperjualbelikan berdasarkan berat, jumlah atau ukuran, maka risiko atas barang yang dijual dibebankan pada si penjual hingga barang-barang tersebut sudah ditimbang, dihitung atau diukur. Hal ini diatur dalam pasal 1461.
ü  Mengenai barang-barang yang dijual menurut tumpukan
Barang yang dijual menurut tumpukam hukumnya sama dengan barang yang dijual berdasarkan berat, jumlah atau ukuran. Karena sebetulnya barang yang dijual berdasarkan tumpukan merupakan kumpulan dari barang-barang tertentu menurut pengertian pasal 1461.[13]
            Berkaitan dengan masalah jual beli ini, penyelesaianya kiranya bisa menganalogikan atau menggunakan aturan yang dipakai dalam akad, dalam arti dalam menandatangi kesepakatan awal hendaknya perlu dicantumkan pula masalah resiko  jika sekiranya nanti benar-benar terjadi. Dalam hal ini Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah menyatakan bahwa kewajiban memikul kerugian yang tidak disebabkan kesalahan salah satu pihak dinyatakan sebagai risiko (pasal 42) 

  B.    Jual beli Prespektif Syariah
  1.     Pengertian
            Allah telah menempatkan manusia sekalian dimuka bumi yang didalamnya terdapat sumber penghidupan (QS.Al-A’raf[7]:10). Untuk mendapatkan rezeki sebagai sumber kehidupan (QS.Yaasin[36]:35), manusia diperintahkan untuk bekerja (QS.An-Naba[78]:11) (QS.Ar-Rum[30]:23) sungguh-sungguh (QS.Al-Anam[6]:135) mencari karunia Allah (QS.Al-Jum’uah[62]:10) (QS.Al-Qashash[28]:73). Salah satu cara untuk mendapatkan rezeki adalah melalui kegiatan transaksi jual beli. Secara harfiah, istilah jual beli diartikan sebagai pertukaran sesuatu dengan sesuatu. Di dalam Al-Qur’an, terdapat beberapa istilah terkait dengan akad jual-beli, diantaranya misalnya yang terdapat dalam kutipan firman Allah yang menjelaskan bahwa:
Mereka mengharapkan jual beli yang tidak akan rugi” (QS.Faathir[35]:29).
            Sedangkan secara terminologi yang dimaksud dengan akad jual beli adalah: “Pemilikan harta benda dengan cara pertukaran sesuai aturan syara’” (Suhendi, 2002: 67). Dalam kitab undang-undang hokum perdata Islam/KUHPI (Majalah Al-Ahkam Al-‘adaliyah), yang dimaksud dengan akad jual beli (al-bai’) adalah pertukaran antara harta dengan harta, bisa bersifat mengikat (mun’aqid) dan tidak mengikat (ghair mun’aqid) (Lihat: Pasal 105).
            Sayyid sabiq, mendefinisikan jual beli “saling menukar harta dengan harta atas dasar suka sama suka.”[14] Pendapat lain mendefinisikan “menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan.”[15] Pendapat lain menyatakan “jual beli adalah saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf) dengan ijab dan qabul, dengan cara yang sesuai syara’.”[16]
            Akad jual beli dikatakan mengikat (mun’aqid) apabila mempunyai kepastian hokum (lazim). Pada prinsipnya, suatu akad berlaku secara pasti apabila telah memenuhi rukun dan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh syara’. Begitupula sebaliknya, akad dikatakan tidak mengikat (ghair mun’aqid) apabila belum ada kepastian hukumnya (ghairu lazim). Misalnya membeli sesuatu yang belum pernah dilihat, maka jual beli masih bersifat belum pasti disebabkan berlakunya hak khiyar.
            Menurut Pasal 1457 KUH Perdata, jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak lain untuk membayar harga yang diperjanjikan.
            Hikmah Alllah SWT mensyariatkan akad jual beli kepada hamba-hambaNya adalah sebagai sarana (wasilah) untuk mencari sumber penghidupan (rezeki) dalam rangka memenuhi kebutuhan. Karena melalui akad jual beli, memungkinkan seseorang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya setelah melakukan pertukaran harta benda untuk tujuan kepemilikan.
            Allah SWT telah menjadikan kepemilikan harta benda sebagai sarana pendukung guna terciptanya kemaslahatan. Untuk mendapatkan hak kepemilikan terhadap harta benda tersebut, Allah SWT telah mensyariatkan akad jual beli kepada hamba-hambaNya melalui ayat-ayat yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai berikut: “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS.Al-Baqarah[2]:275). “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku ridha sama ridha diantara kamu (QS.An-Nisa[4]:29).
            Dalam suatu riwayat ketika Rasulullah ditanya oleh sahabat tentang usaha yang paling utama, kemudian beliau bersabda: Seseorang yang bekerja dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur (HR. Ahmad). Maksud mabrur dalam hadist tersebut adalah jual beli yang terhindar dari sesuatu yang dapat merusak keridhaan. Karena Rasulullah SAW bersabda: “Jual beli harus dipastikan saling meridhai” (HR. Baihaqi dan Ibnu Majah).
            Akad jual beli disyariatkan oleh Allah untuk kemudahan bagi para hambaNya dalam mencari rezeki sebagai sumber penghidupan. Bahkan sebagai gambaran keutamaan, dalam sebuah atsar dinyatakan bahwa sembilan dari sepuluh pintu rezeki berasal dari kegiatan usaha jual beli.
  2.     Dasar Hukum Jual Beli Syariah
            Adapun dalam syariat Islam dasar hukum jual beli bisa ditemukan di dalam banyak ayat al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW. Antara lain:
            “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al-Baqarah, 2:275)
            “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu”. (QS. Al-Baqarah, 2:198)
            “Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli”. (QS. Al-Baqarah, 2:282)
            “Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”. (QS. An-Nisaa’, 4:29)
            Dalam hadist Nabi Muhammad SAW. Antara lain bisa dikemukakan seperti apa yang diriwayatkan oleh Al-Barzaar dan Al-Hakim:
            “Nabi Muhammad SAW pernah ditanya: apakah pekerjaan yang paling baik? Rasulullah menjawab: “Usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati”.[17]
            Dalam sabdanya yang lain, Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Baihaqi, menyatakan:
            “Jual beli itu atas dasar suka sama suka.”[18]
            Selanjutnya dalam sabdanya yang lain yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Rasulullah SAW menyatakan:
            “Pedagang yang jujur dan terpercaya, tempatnya (kelak) di surga bersama para Nabi, Shiddiqin, dan para Syuhada”.[19]
            Muslim dan perawi yang lin juga meriwayatkan dari Qatadah yang menceritakan bahwa dia pernah dengar Rasulullah bersabda:
            “Hindarilah banyak bersumpah dalam jual beli karena akan melariskan, kemudian menghapuskan”.[20]
            Dari beberapa dasar yuridis jual beli dalam syariat yang diperkenankan dalam islam dapat dipahami bahwa aktivitas jual beli guna memenuhi kebutuhan diperkenankan dalam syariat. Demikian pula dalam perundangan yang lain sebagaimana yang tercantum dalam KUHPdt. Islam mengharamkan riba dan menekankan agar dalam aktivitas jual beli perlu dilakukan suka sama suka, dalam arti tidak ada paksaan di antara pihak.
            Sisi lain yang juga diajarkan dalam syariat Islam bahwa jual beli (perdagangan) yang dilakukan sesuai dengan ketentuan syariat akan mendapatkan rezeki yang barakah, dan bahkan dijanjikan pahala akhirat kepada para pelaku bisnis yang jujur, yakni akan bersama para Nabi, para Shaddiqin, dan para Syuhada, kelak di Surga. Tentu saja pahala dan janji transenden yang seperti inilah yang tidak ditemukan dalam ajaran hukum posistif yang lebih bersifat spekulatif, relatif, dan kontemporer.[21]  
  3.     Rukun dan Syarat Jual Beli Syariah
            Syariat islam sangat menekankan agar dalam proses jual beli para pihak memperhatikan syarat dan rukun yang telah ditentukan, karena apabila salah satunya tidak terpenuhi berpotensi jual beli tidak sah atau batal demi hukum.
            Rukun jual beli ada tiga, yakni akad (ijab-kabul), pihak-pihak yang berakad (paling tidak ada dua: pejual dan pembeli), dan ma’kud alaih (objek akad). Menurut jumhur ulama, rukun jual beli bukan tiga, namun empat, yaitu orang yang berakad (penjual dan pembeli), sighat (ijab dan Kabul), ada barang (objek) yang dibeli, dan ada nilai tukar pengganti barang.[22] Berbeda dengan Madzab Hanafi, orang yang berakad (pihak-pihak), barang (objek) yang dibeli, dan nilai tukar barang itu tidak termasuk rukun jual beli bukanlah rukun, tetapi syarat jual beli.
            Akad sebagaimana telah dibahas di bagian lain buku ini ialah ikatan antara penjual dan pembeli, karena jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab kabul dilakukan. Bukanlah ijab dan kabul merupakan ekspresi kerelaan dari seseorang yang merupakan cermin dari perasaannya. Karena itu kerelaan orang dapat ditangkap melalui penampakan lahiriyahnya. Dalam hubungan ijab dan kabul sebagai salah satu rukun jual beli, Rasulullah SAW bersabda:
            Dari Abi Hurairah ra. Dari Nabi SAW bersabda: “janganlah dua orang yang jual beli berpisah, sebelum saling meridhai.” (Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi).[23]
Dalam sabdanya lain:
            Rasulullah SAW bersabda: “sesungguhnya jual beli hanya sah dengan saling merelakan.” (Riwayat Ibn Hibban dan Ibn Majah.)[24]     
            Ada sebuah pertanyaan yang mendasar, apakah jual beli yang sudah mentradisi dalam kehidupan sehari-hari masih disyaratkan adanya ijab dan kabul? Menurut jumhur ulama, tidak disyaratkan adanya ijab dan kabul.[25] Tetapi menurut ulama Syafi’iyah melakukan jual beli barang sekecil apapun tetap harus dilakukan ijab dan kabul. Tidak demikian menurut Imam al-Nawawi dan ulama Muta’akhirin dari kalangan Syafi’iyah, mereka berpendapat boleh saja tanpa ijab dan kabul dalam hal jual beli barang-barang yang kecil.
            Namun menurut hemat penulis yang dimaksud kecil bendanya adalah di samping kecil zatnya, juga kecil nilainya. Karena bisa jadi jual beli sebuah benda yang memang kecil dari aspek zatnya, namun besar dari aspek nilai atau harganya. Contoh: yang sederhana nilai harga satu kilogram emas jelas beda dengan satu kilogram bebatuan biasa, dan lain sebagainya. Dari segi ukuran wujud bendanya, tentu saja emas lebih kecil dibanding bebatuan biasa untuk ukuran yang sama. Dengan demikian yang menjadi ukuran perlu tidaknya adanya ijab dan kabul antara lain adalah nilai barang yang diperjual belikan.[26]     
            Selanjutnya yang berkaitan dengan syarat kekuatan hukum akad jual beli, ulama fikih sepakat bahwa suatu jual beli baru bersifat mengikat, apabila jual beli itu terbebas dari segala macam khiyar, yaitu hak pilih untuk meneruskan atau membatallkan jual beli. Artinya, jika jual beli masih mempunyai hak khiyar, maka jual beli itu belum mengikat dan masih ada peluang untuk dibatalkan.[27]    
  4.     Peran Adat-Istiadat Dalam Perniagaan Syariah
            Tradisi atau adat adalah suatu hal yang dilakukan berulang-ulang secara terus menerus hingga akhirnya melekat dipikiran dan dipahami oleh seriap orang tanpa perlu penjabaran atau lainya.[28]
            Dan agama Islam diturunkan oleh Allah Ta’ala guna merealisasikan dan memperbanyak kemaslahatan bagi hamba-hambaNya, sebagaimana Islam juga memerangi kemadharatan dan berusaha meminimalkanya.[29] Islam tidak pernah mengharamkan suatu hal yang bermanfaat bagi manusia, dan juga tidak pernah memerintah hal yang mudharat atas mereka. Inilah salah satu wujud kesempurnaan agama islam, agama yang datang dari Allah Ta’ala, Dzat Yang Maha Bijaksana Lagi Maha kuasa.
            Bila suatu saat ada ajaran syari’at yang dianggap merugikan manusia, pasti sisi kemaslahatan dan keuntunganya lebih besar bila dibanding mafsadah dan kerugianya, begitu juga sebaliknya.
            Ibnu Qayyim pernah berkata, “seluruh syari’at yang pernah diturunkan oleh Allah, senantiasa membawa hal-hal yang manfaatnya murni atau lebih banyak (dibanding kerugianya), memerintahkan dan mengajarkanya. Sedaangkan hal-hal yang murni sebagai kerugian atau kerugianya lebih banyak (dibanding manfaatnya) maka pasti dilarang dan diperintahkan untuk disingkirkan. Dengan demikian syari’at datang untuk merealisasikan maslahat yang murni atau lebih banyak dan berupaya sedapat mungkin untuk menyempurnakanya. Sebagaimana syari’at datang untuk menghentikan kerugian yang murni atau lebih banyak, dan berupaya sedapat mungkin meminimalkanya. Sehingga inti ajaran syari’at dan agama adalah keempat prinsip ini.[30]  
            Karena prinsip syari’at adalah demikian ini, maka Islam tidak berupaya menghapuskan seluruh tradisi manusia, akan tetapi Islam menjadi filter bagi tradisi mereka, bila tradisi tersebut benar-benar bermanfaat atau manfaatnya lebih besar, niscaya akan diperintahkan dan diizinkan. Akan tetapi, bila suatu tradisi merugikan atau sisi kerugianya lebih besar, niscaya akan dilarang dan diperangi. Dengan demikian tidak benar bila da yang beranggapan bahwa Islam memerangi setiap yang dikatakan tradisi atau adat, akan tetapi Islam adalah filter bagi setiap tradisi dan adat istiadat.
            Berdasarkan penjelasan diatas, para ulama menyatakan bahwa: bila suatu tradisi tidak menyelisihi syari’at, maka boleh, bahkan ada beberapa kesempatan wajib untuk diamalkan dan bahkan memiliki kekuatan hukum dalam syari’at.[31]
            Oleh karena itu, dalam ilmu fiqih dikenal kaedah yang berbunyi:
            “Sesuatu yang telah diketahui secara bersama, bagaikan hal yang telah ditegaskan dalam persyaratan.”
            Berangkat dari kaidah ini, para ulama membagi persyaratan dalam akad jual beli menjadi dua bagian:
ü  Persyaratan yang dituangkan dengan tegas secara lisan atau tulisan dalam akad penjualan.
ü  Persyaratan yang tidak dituangkan secara tulisan maupun lisan dalam akad penjualan, akan tetapi persyaratan tersebut telah diketahui dan diamalkan oleh seluruh lapisan masyarakat.[32]
            Sebagai contoh: Bila suatu masyarakat memiliki tradisi bahwa dalam jual beli mebel dan yang serupa, penjual berkewajiban mengantarkan mebel yang telah dibeli kerumah pembeli, tanpa tambahan biaya, maka tradisi ini memiliki kekuatan hukum sehingga harus dijalankan. Dengan demikian penjual (toko) berkewajiban mengantarkan barang yang telah terbeli kerumah pembeli, walaupun ketika akad pembelian kedua belah pihak tidak menyinggung-nyinggung pelayanan antar ini. Karena kebiasaan masyarakat ini bagaikan salah satu persyaratan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dalam akad jual beli mereka.      
     
  C.    Kontrak Bisnis  
  1.     Pengertian Kontrak
            Pengertian istilah kontrak atau persetujuan (contract or agreement) yang diatur dalam buku III Bab Kedua KUH-Perdata (BW) Indonesia, sama saja dengan pengertian perjanjian, yaitu “perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.[33] Menurut R.Subekti,[34] “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana ada seseorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.” Hubungan kedua orang yang bersangkutan mengakibatkan timbulnya suatu ikatan yang berupa hak dan kewajiban kedua belah pihak atas suatu prestasi. Sementara itu, menurut M. Yahya Harahap,[35] “Suatu perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk melaksanakan prestasi.”
            Dari beberapa pendapat pakar hukum tentang pengertian kontrak/perjanjian antara lain menyatakan bahwa kontrak adalah suatu kesepakatan yang diperjanjikan (promissory agreement) di antara dua atau lebih pihak yang dapat menimbulkan, memodifikasi, atau menghilangkan hubungan hukum.[36]
            Interorganizational business interactions are typically defined by (business) contracts. “A contract describes the roles and responsibilities of its participants, along with the typical value exchanges that take place during contract enactment. In current practice, contracts are defined in natural language, and are often ambiguous. Given the size and complexity of business contracts, manual verification is both expensive and error prone. Incorrect contracts, not being compatible with the participants’ preferences, are either subverted or carried out at some loss. Further, the risk of hidden hazards in contracts adds friction to the economy, thus preventing potential gains in trade”.[37] 
            Selanjutnya ada juga yang memberikan pengertian kontrak sebagai suatu perjanjian, atau serangkaian perjanjian dimana hukum memberikan ganti rugi jika terjadi wanprestasi terhadap kontrak tersebut, atau terhadap pelaksanaan kontrak tersebut oleh hukum dianggap sebagai suatu tugas.[38]  
            Selain kedua pendapat diatas KUH Pdt juga memberikan pengertian kontrak yang disebut perjanjian yaitu suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (vide Pasal 1313 KUH Pdt).[39]
            Dari ketiga pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kontrak bisnis adalah kesepakatan suatu perbuatan yang diperjanjikan di mana satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang lain atau lebih yang dapat menimbulkan, memodifikasi, atau menghilangkan hubungan hukum.[40]
  2.     Objek Kontrak
            Seperti telah diutarakan dimuka, sasaran pokok suatu persetujuan atau perjanjian adalah suatu prestasi.[41] Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, prestasi dapat berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu. Berbuat sesuatu adalah setiap prestasi untuk melakukan sesuatu yang bukan berupa memberikan sesuatu, misalnya membuat naskah buku untuk diterbitkan oleh penerbit anggota IKAPI di Bandung. Sementara itu, tidak berbuat sesuatu, misalnya pihak penerbit besar anggota IKAPI itu tidak bersedia menerbitkan naskah buku.
            Sehubungan dengan hal tersebut diatas, agar suatu kontrak/perjanjian itu sah, objek suatu kontrak harus memenuhi beberapa persyaratan,[42] yaitu objeknya harus tertentu atau dapat ditentukan; diperbolehkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan tidak bertentangan ketertiban umum dan tata susila. Sementara itu, prestasinya harus benar-benar riil (bukan seperti menjual kerbau yang berada di padang rumput sehingga kurang jelas pemilik sebenarnya) agar benar-benar dapat dilaksanakan.
  3.     Subjek Hukum Kontrak
            Dalam mengadakan suatu kontrak, setiap subjek hukum harus memenuhi suatu kondisi tertentu agar dapat mengikat para pihak yang membuatnya. Jika subjek hukumnya adalah “orang” (naturelijke persoon) orang tersebut harus sudah dewasa. Namun, jika subjeknya “badan hukum” (recht persoon) harus memenuhi syarat formal suatu badan hukum.
            Kedua jenis subjek hukum tersebut memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam melakukan kontrak. Oleh karena itu, dalam hukum perjanjian, yang dapat menjadi subjek hukumnya adalah individu dengan individu atau pribadi dengan pribadi, badan hukum dengan badan hukum.
  4.     Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Kontrak
            Sebelum dilakukan sebuah kontrak bisnis, terlebih dahulu harus diketahui oleh dua belah pihak beberpa hal yang perlu diperhatikan. Di antara masalah pokok seringkali menjadi isu hukum adalah tentang kepemilikan, struktur modal, direksi, manajemen, pemasaran, policy terhadap finansial, hak milik perindustrian, technical assistance dan know how, settlement disputes dan perubahan mitra.[43]
            Sudah selayaknya dalam membuat draft kontrak, perusahaan haruslah berhati-hati, sekalipun draft kontrak biasanya dibuat oleh para lawyer dari perusahaan, karena ide dan policy dari isi kontrak tersebut sepenuhnya berada pada pihak perusahaan. Dalam hal ini para lawyer perusahaan lebih memperhatikan segi formalnya saja dan perlindungan pihak yang diwakilinya.[44]
            Contracts are under-researched in business-to-business marketing, which is remarkable given their ubiquity in practice. This may be due to contracts being often in the background of the more prominent research areas of relationships and interaction. Two approaches into incorporating contracts have gained prominence. Blois (2002), Blois and Ivens (2006, 2007) and Harrison (2004) develop Macneil’s (2001) relational theory of contract, addressing how the social properties of relationships make contracts work. By contrast, Mouzas and Ford (2012) argued that contracts can be a meta-resource, with those party to industrial exchanges being more or less effective in drawing upon these to establish relationships and exchanges. As such, actors can use contracts to articulate their goals and ways of aligning these (Corsaro and Snehota, 2011).[45]
  5.     Macam-macam Kontrak Bisnis
ü  Kontrak Kerja Sama Bisnis.
Kerja bisnis secara kotraktual merupakan suatu bentuk kerja sama yang berlandaskan atas kontrak-kontrak yang dibuat dan ditandatangani oleh kedua belah pihak yang bekerja sama.
Dalam pratiknya, dalam skala nasional maupun internasional, kontrak-kontrak yang melandasi kerjasama untuk memperluas bisnis tersebut sangat banyak macamnya. Diantara yang paling sering digunakan adalah:
*     Kontrak license
*     Kontrak francise
*     Kontrak distribusi
*     Kontrak agensi
*     Kontrak lainnya.[46]
ü  Kontrak untuk Perluasan Bisnis.
Kontrak, selain dalam bentuk kerja sama bisnis, juga bisa dilakukan untuk memperluas bisnis atau usaha yang melibatkan equity. Selain melibatkan equity, juga melibatkan akuisisi, misalnya sebuah perusahaan deal-deal bisnis dengan hanya berdasarkan atas kontrak semata-semata. Dalam hal ini sebuah perusahaan melakukan perluasan dengan bekerja sama dengan perusahaan lain dalam bidang-bidang tertentu dengan mengikuti syarat dan kondisi yang diperjanjikan.[47]
Landasan yuridis dari perluasan usaha berdasarkan ikatan kontrak ini vide pasal 1338 KUH Pdt[48] :
“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup. Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”.    
            Melakukan kontrak, berarti antar pihak saling mengikatkan diri yang satu dengan yang lainya. Hal ini sesuai dengan arti kontrak (akad) itu sendiri yakni mengikat, sambungan, dan janji.[49] Tentu saja ikatan-ikatan itu tidak boleh diputus secara sepihak tanpa persetujuan pihak lain yang terlibat didalamnya. Bukankah apa yang telah disepakati itu, di samping bersifat mengikat, juga berlaku sebagai hukum yang harus dipatuhi oleh pihak-pihak yang membuatnya. 
Sebagaimana fiman-Nya:
            “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu” (QS. Al-Maidah [5]:1)

  D.    Kontrak Bisnis Prespektif Syariah
  1.     Pengertian
            Pengertian kontrak adalah perjanjian yang dibuat secara tertulis (Rahman,2000:4). Dengan kata lain, kontrak merupakan suatu perjanjian/perikatan yang sengaja dibuat secara tertulis, sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak yang berkepentingan. Dalam hukum kontrak konvensional, secara teori ada perbedaan definisi antara perjanjian dan perikatan. Misalnya pada pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (kemudian disebut KUH Perdata), pengertian perikatan adalah memberi sesuatu, berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu. Sedangkan pada Pasal 1313 ayat (2) KUH Perdata, istilah perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan hukum di mana sesorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
            Dalam fiqh muamalah, pengertian kontrak perjanjian masuk dalam bab pembahasan tentang akad. Pengertian akad (al-‘aqd) secara bahasa dapat diartikan sebagai perikatan/perjanjian (Zarqa, 1969: 291). Berbeda dengan istilah lainya, asal usul istilah akad memiliki akar kata yang kuat di dalam Al-Qur’an, misalnya firman Allah SWT: Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad (al-aqd) di antara kamu (QS.Al-Maidah [5]:1). Karena setiap perjanjian (al-ahdu) pasti akan dimintai per-tanggungjawaban (QS.Al-Isra[17]:34).
            Berdasarkan kutipan ayat-ayat tersebut, meskipun dijumpai istilah al-‘aqd dan al-ahdu yang memiliki hubungan dengan makna dengan hukum kontrak Syariah, namun yang lazim dugunakan dalam fiqh muamalah adalah kata al-‘aqd  (Djamil, 200:274). Menurut para fuqaha, pengertian al-‘aqd adalah “Perikatan yang diucapkan melalui ijab qabul berdasarkan ketentuan syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya” (Syefei, 2001:44)
            Pertemuan ijab dan qabul yang dibenarkan syara’ sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan akibathukum pada objeknya disebut akad (Anwar, 2007:58). Sehingga dari penjelasan dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan Hukum Kontrak Syariah adalah hukum yang mengatur perjanjian/perikatan yang sengaja dibuat secara tertulis berdasarkan prinsip-prinsip syariah, sebagai alat bukti bagi para pihak yang berkepentingan.
  2.     Landasan Hukum Kontrak Bisnis Prespektif Syariah
            Landasan syariah merupakan sumber hukum penyusunan kontrak. Landasan syariah tentang kontrak selain terkait langsung dengan kewajiban menunaikan akad (QS. Al-Maidah [5]:1) (QS. Al-Isra [17]:34), juga memuat tentang adanya kewajiban membuat catatan tertulis ketika menjalankan transaksi bisnis yang dilakukan secara tidak tunai. Suatu trnsaksi yang dilakukan secara tunai (naqdan) tidak ada keharusan untuk menuliskanya. Tetapi apabila akad yang dibuat tidak secara tunai (ghairu naqdan) maka wajib untuk menuliskanny, karena penulisan perjanjian selain berfungsi sebagai alat bukti, juga bertujuan untuk memudahkan dalam pelaksanaanya.
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ۚ فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا ۚ وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰ أَجَلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَىٰ أَلَّا تَرْتَابُوا ۖ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا ۗ وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
  Artinya:
            “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah [2]:282).
  3.     Tujuan Kontrak Bisnis Syariah
            Dalam pandangan Islam, suatu perbuatan harus senantiasa diniatkan karena Allah semata (Lillahita’ala). Niat yang baik karena Allah kemudian harus diwujudkan dalam bentuk amal perbuatan yang sesuai dengan ketentuan syariah yang telah ditetapkanNya. Ketentuan ini mengacu pada sabda Rasulullah SAW yang menegaskan bahwa “sesungguhnya amalan itu tergantung pada niatnya. Dan setiap amal perbuatan seseorang akan dinilai sesuai dengan apa yang diniatkan (HR. Bukhari). Berdasarkan hadist tersebut, berlaku qaidah fiqh yang menyatakan bahwa segala perkara (perbuatan) akan dinilai dengan apa yang menjadi maksud dan tujuanya.
  4.     Rukun dan Syarat Sah Akad (Kontrak)
            Selanjutnya berkaitan dengan akad, islam mengajarkan agar seseorang atau badan hukum misalnya, sebelum melakukan kontrak harus memperhatikan rukun yang ada. Menurut jumhur fukaha, rukun akad meliputi:
ü  Pernyataan untuk mengikatkan diri (sighah al-‘aqd)
ü  Pihak-pihak yang berakad
ü  Objek akad
            Namun demikian, ulama Madzab Hanafi berpendapat bahwa rukun akad hanyalah satu, yaitu shigah al-‘aqd saja, sedangkan yang lain tidak termasuk rukun.
            Nemun demikian perlu dipahami, bahwa shigah al-‘aqd merupakan rukun yang terpenting, karena dengan shigah ini lah dapat diketahui maksud setiap pihak yang melakukan akad atau transaksi dalam sebuah bisnis. Shigah al-‘aqd biasanya diekspresikan melalui ijab dan qabul, dengan ketentuan:
ü  Tujuan akad harus jelas dan dapat dipahami
ü  Antara ijab dan qabul harus ada kesesuaian
ü  Pernyataan ijab dan qabul itu harus sesuai dengan kehendak masing-masing, dan tidak boleh ada yang meragukan.[50]
            Ijab dan qabul dapat saja dalam bentuk perkataan, perbuatan, isyarat dan tulisan dalam transaksi besar. Namun demikian, semua bentuk ijab dan qabul itu mempunyai kekuatan yang setara bagi pihak-pihak yang mengikatkan diri dalam sebuah transaksi apapun. Pernyataan itu seperti yang diucapkan, “Saya telah membeli barang ini dengan harga sekian”. Selanjutnya penjual mengatakan, “Saya telah menjual barang ini dengan harga sekian”. Pernyataan ijab dan qabul semacam ini menegaskan, sekaligus memperjelas, telah terjadi perpindahan hak dari satu pihak ke pihak lain. Demikian juga sebagai pertanda bahwa kedua belah pihak yang bertransaksi telah sama-sama menunaikan kewajiban masing-masing dalam sebuah perbuatan hukum.
            Pendapat lain menyatakan bahwa rukun akad terdiri atas:
ü  Pihak-pihak yang berakad
ü  Objek akad
ü  Tujuan pokok akad
ü  Kesepakatan (Pasal 22).[51]
            Pihak-pihak yang berakad adalah orang, persekutuan, atau badan usaha yang memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum (Pasal 23). Dengan demikian anak-anak yang masih dibawah umur dan orang gila tidak sah dalam melakukan perjanjian dengan pihak lain. Atau dengan kata lain, yang sah melakukan kontrak sebagaimana telah disinggung sebelum ini adalah para mukallaf yang cukup syarat. Hal ini perlu ditekankan karena berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban bagi setiap pelaku bisnis. Bukankah menurut Afzalur Rahman, dalam prinsip ekonomi syariah, akad yang dilakukan seseorang memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.[52] Bukankah tidak mungkin pelaku bisnis seringkali melanggar kontrak yang telah dilakukan jika hukum itu hanya berdasarkan hukum positif semata. Tidaklah demikian, apabila kontrak tersebut didasarkan pada hukum syari’ah yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadist yang menekankan bahwa segala perbuatan manusia pasti akan diminta pertanggung jawabanya sampai di hari nanti di hadapan Tuhan Yang Maha Adil dan Maha Mengetahui.[53]
            Dalam sebuah transaksi atau kontrak bukanlah tidak mungkin akan terjadinya ingkar janji (wanprestasi) yang dilakukan oleh salah satu pihak. Salah satu pihak dapat dianggap melakukan ingkar janji, apabila karena kesalahanya:
ü  Tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk melakukanya.
ü  Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
ü  Melakukan apa yang dijanjikanya, tetapi terlambat.
ü  Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan (pasal 36).
            Lebih lanjut dijelaskan bahwa pihak dalam akad melakukan ingkar janji, apabila dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan ingkar janji atau demi perjanjianya sendiri menetapkan, bahwa pihak dalam akad harus dianggap ingkar janji dengan lewatnya waktu yang ditentukan (Pasal 37). Kepada pihak yang melakukan ingkar janji dapat dijatuhi sanksi: pembayaran ganti rugi, pembatalan akad, peralihan risikio, denda, dan pembayaran biaya perkara (Pasal 38).
            Lebih jauh dijelaskan, bahwa sanksi pembayaran ganti rugi dapat dijatuhkan apabila:
 ü  Pihak yang melakukan ingkar janji setelah dinyatakan ingkar janji, tetap melakukan ingkar janji;
 ü  Sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya;
 ü  Pihak yang melakukan ingkar janji tidak dapat membuktikan bahwa perbuatan ingkar janji yang dilakukanya tidak dibawah paksaan (Pasal 39).[54]
   

 BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
            Dapat ditarik kesimpulan bahwasanya jual beli adalah persetujuan saling mengikat antara penjual (yakni pihak yang menyerahkan/ menjual barang) dan pembeli (yakni pihak yang membayar/membeli barang yang dijual). Jual beli adalah sebagai sarana tolong menolong sesame manusia, di dalam islam mempunyai dasar hukum yaitu dari Al-Qur’an dan Hadist. Seperti dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa, 4: 29. Mengacu kepada ayat Al-Qur’an dan Hadist, hukum jual beli adalah mubah (boleh). Namun pada situasi tertentu, hukum jual beli bisa berubah menjadi sunnah, haram, dan makruh.
            Dalam melakukan transaksi, prinsip yang harus dijunjung adalah tidak ada kedzaliman yang dirasa oleh pihak-pihak yang terlibat atas transaksi tersebut. Semuanya harus sama-sama rela dan adil sesuai dengan takaranya. Maka, dari sisi ini transaksi yang terjadi akan merekatkan ukhuwah pihak-pihak yang terlibat dan diharap agar bisa tercipta hubungan yang selalu baik. Kecurangan, ketidakjujuran, menutupi cacat barang, mengurangi takaran timbangan yang tidak semestinya tidak dibenarkan. Atau hal-hal kecil seperti menggunakan barang tanpa izin atau sering disebut dalam pesantren yaitu ghosob, meminjam dan tidak bertanggungjawab atas kerusakan harus sangat diperhatikan dalam bermuamalat.
            Hukum kontrak merupakan suatu perjanjian antara satu orang dengan yang lainya sesuai dengan kehendak yang berpengaruh pada objek perikatan.
            Dalam Ensklopedi Hukum Islam menjelaskan bahwa dalam perjanjian islam dikenal dengan istilah aqad adalah perikatan, perjanjian, dan permufakatan yaitu pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan menerima ikatan).

B.    Saran
            Adapun saran yang dapat saya berikan dalam makalah ini adalah: hendaknya dalam melakukan sebuah kegiatan transaksi jual beli maupun kontrak bisnis harus betul-betul memperhatikan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia dan begitu pula tidak lepas dari hukum-hukum yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist.
            Di zaman era globalisasi yang sangat modern ini banyak fenomena-fenomena yang kita lihat dalam penyalahgunaan hukum-hukum baik itu dari perundang-undangan maupun syariah. Sebagai manusia yang bijak atau ngerti, kita wajib untuk meluruskanya. Seperti pada hadist Nabi Muhammad SAW, dari Abu Sa’id Al-Khudri r.a. berkata : saya mendengar Rasulullah SAW bersabda “Siapa yang melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tanganya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisanya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman.” (Riwayat Muslim). Dengan hadist ini pun sangat jelas bahwa kita bertanggung jawab atas mengingatkan saudara-saudara kita dari kemungkaran dan menyuruh untuk berbuat kebajikan. Jika melakukan sebuah tranksaksi jual beli maupun kontrak bisnis sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku maupun sesuai dengan hukum syariah maka sesuatu yang kita jalani akan semakin mudah dan cepat berkembang.  


 DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Idris, Fiqh al-Syafi’iah, Jakarta: Karya Indah, 1986

Al-Kahlani, Muhammad Ibn Ismail, Subul al-Salam, Bandung: Dahlan, tt

An-Nabhani, Yusuf bin Ismail, Awas di Pasar ada Setan Tuntunan Islam dalam Jual Beli, Jakarta: Griya Ilmu, 2005

Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah Wacana Ulama & Cendekiawan, Jakarta: Tazkia Institute, 1999

Arifin, Muhammad, Sifat Perniagaan Nabi Muhammad SAW, Bogor: CV Darul Ilmi, 2008

Burhanuddin, Hukum Kontrak Syariah, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2009

Desai, Nirmit, Nanjangud C. Narendra, and Munindar P. Singh, Checking Correctness of Business Contracts via Commitments, Proc. Of 7th Int. Conf. on Autonomous Agents and Multiagent Systems (AAMAS 2008), Padgham, Parkes, Müller and Parsons (eds.), May, 12-16., 2008, Estoril, Portugal, pp. 787-794

Djakfar, Muhammad, Hukum Bisnis: Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syariah, Malang: UIN-Maliki Press, 2016

Djik, Eric van and Daan van Knippenberg, Buying and selling exchange goods: Loss aversion and the endowment effect, Journal of Economic Psychology 17 (1996) 517-524

Fuady, Munir, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Bisnis, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994

-------, Hukum Kontrak, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007

Harahap, M. Yahya, Segi-segi Hukum Perikatan, Bandung: PT Alumni, 1982

Hasan, M. Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalah), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003

Möhring, Monika Maria and John Finch, Contracts, Relationships and Innovation in business-to-Business Exchanges, Journal of Business & Industrial Marketing, 2015, Glasgow, UK, Vol. 30 Iss 3/4 pp. 405-413

Sabiq, Sayid, Fiqh al-Sunnah Vol. III, Libanon: Darul Fikar, 1981

Simanjuntak, Augustinus, Hukum Bisnis, Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2018

Simatupang, Ricard Burton, Aspek Hukum dalam Bisnis, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003

Soebekti, R, Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional, Bandung: PT Alumni, 1986

-------, Aneka Perjanjian, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1995

Suhendi, H. Hendi, Fiqh Muamalah: Membahas Ekonomi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002

Syahmin, Hukum Kontrak Internasional, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006

Taqiyyuddin, Abi Bakr Ibn Muhammad, Kifayat al-Akhyar, Bandung: PT Al-Ma’arif, tt





[1] Ricardo Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis (Jakarta: PT Rineka Cipta 2003), 27   
[2] Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis: Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syariah, (Malang: Uin-Maliki Press, 2016), 173-175
[3] Agustinus Simanjunta, Hukum bisnis, (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2018), 87
[4] Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), 113. Baca pula Abdullah al-mushlih dan Shalah ash-shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, ter. Abu Umar Basyir (Jakarta: Darul Haq, 2004), 89
[5] R. Soebekti, Aneka Perjanjian, cetakan kesepuluh, (Bandung: PT Citra Aditiya Bakti, 1995), 1
[6] Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis: Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syariah, (Malang: Uin-Maliki Press, 2016), 206-207
and the endowment effect”, Journal of Economic Psychology 17 (1996) 517-524
[8] Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis: Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syariah, (Malang: Uin-Maliki Press, 2016), 208
[9] Agustinus Simanjuntak, Hukum Bisnis (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2018), 88-89
[10] Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis: Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syariah, (Malang: Uin-Maliki Press, 2016), 218-219
[11] Soebekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1995), 8
[12] Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis: Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syariah, (Malang: Uin-Maliki Press, 2016), 219
[13] Soebekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1995), 24–28
[14] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Darul al-Fikr, 1977)
[15] Idris ahmad, Fiqh al-Syafi’iyah (Jakarta: Karya Indah, 1986), 15
[16] Abi Bakr Ibn Muhammad Taqiyuddin, Kifayat al-Akhyar (Bandung: PT Al-Ma’arif, tt), 329
[17] Dalam Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), 116
[18] Ibid., 117
[19] Ibid.
[20] Yusuf Bin Ismail An-nabhani, Awas di Pasar ada Setan (Jakarta: Griya Ilmu, 2005), 11
[21] Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis: Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syariah, (Malang: Uin-Maliki Press, 2016), 210
[22] Dalam Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), 118
[23] H. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah: Membahas Ekonomi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), 70
[24] Ibid.
[25] Lihat Muhammad Ibn Ismail Al-Kahlani, subul al-Salam (Bandung: Dahlan,tt), 4
[26] Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis: Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syariah, (Malang: Uin-Maliki Press, 2016), 210-212
[27] Dalam Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), 126. (Berkaitan dengan hak Khiyar ini di dalam fikih muamalah antara dikenal empat macam: yaitu khiyar majelis, khiyar syarat, khiyar a’ib, dan khiyar ru’yah. Khiyar majelis dimaksudkan apakah jual beli dilanjutkan atau tidak ditentukan pada saat para pihak masih dalam satu majelis (tempat)). 
[28] Muhammad Shidqi al-Burnu, Al-Wajiz Idhahi Qawa’id al-Fiqh al-Kulliyyah, hlm 276
[29] Ibnu Abil ‘Izzi al-Hanafi, Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyyah, hlm 367
[30] Ibnu Qayyim, Miftah Dar as-Sa’adah, 2/14   
[31] Untuk mendapatkan kejelasan lebih lanjut tentang kaidah ini, silakan baca kitab karangan, Imam As- Suyuthi, Kitab Al-Asybah wan Nazha’ir, hlm 89-101. Muhammad Shidqi, Al-Wajiz fi Idhahi Qawa’id al-Fiqh al-Kulliyyah, hlm 270-313
[32] Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqqi’in. 2/414
[33] Pasal 1313 KUH-Perdata Indonesia.
[34] R. Soebekti, Aneka perjanjian (Bandung: PT Alumni, 1984), hlm. 1
[35] M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perikatan (Bandung: PT Alumni, 1982), hlm. 3
[36] Munir Fuady, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Bisnis (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994), 4  
[37] Nirmit Desai, Nanjangud C. Narendra, and Munindar P. Singh, “Checking Correctness of Business Contracts via Commitments”, Proc. Of 7th Int. Conf. on Autonomous Agents and Multiagent Systems (AAMAS 2008), Padgham, Parkes, Müller and Parsons (eds.), May, 12-16., 2008, Estoril, Portugal, pp. 787-794.
[38] Munir Fuady, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Bisnis (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994), 4  
[39] Ibid
[40] Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis: Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syariah, (Malang: Uin-Maliki Press, 2016), 176
[41] Periksa Pasal 1234 KUH-Perdata Indonesia
[42] Periksa Pasal 1320 sub 3, jo pasal 1335 dan pasal 1337 KUH-Perdata Indonesia
[43] Fuady, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Bisnis, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994), 238
[44] Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis: Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syariah, (Malang: Uin-Maliki Press, 2016), 178
[45] Monika Maria Möhring and John Finch, Contracts, Relationships and Innovation in business-to-Business Exchanges, Journal of Business & Industrial Marketing, 2015, Glasgow, UK, Vol. 30 Iss 3/4 pp. 405-413

[46] Fuady, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Bisnis, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994), 173
[47] Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis: Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syariah, (Malang: Uin-Maliki Press, 2016), 192
[48] Fuady, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Bisnis, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994), 177-178
[49] H. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah: Membahas Ekonomi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), 44
[50] Fuady, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Bisnis, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994), 104
[51] Lihat komplikasi Hukum Ekonomi Syari’ah, Mahkamah Agung Republik Indonesia 2008
[52] Dalam M. Syafi’i Antonio, Bank syariah dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani,2001), 30
[53] Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis: Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syariah, (Malang: Uin-Maliki Press, 2016), 185
[54] Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis: Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syariah, (Malang: Uin-Maliki Press, 2016), 187-188



No comments:

Post a Comment